Gus Dur, Islam, dan Humanisme Eropa

Copast:

Koran Sindo Edisi 06-11-2018

Gus Dur, Islam, dan Humanisme Eropa

oleh Mediaa Zainul Bahri

Suatu sore di musim panas (Juli 2018) lalu, dalam sebuah percakapan ringan di Bonn, seorang teman jurnalis DW (Deutsche-Welle, Suara Jerman) mengungkapkan keheranannya tentang Gus Dur sebagai pejuang kebebasan dan martabat manusia yang menjadi ciri khas peradaban Eropa.

“Padahal, dulu di masa mudanya ia hanya tinggal setahun di Eropa. Selebihnya, ia adalah orang pesantren. Hidup dan mati di pesantren,” begitu ungkap teman yang sudah lama tinggal di Jerman itu. Kami mengenang Gus Dur dan sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di Eropa menghormatinya dan menganggapnya sebagai orang pesantren yang berhasil–tidak saja mengidealisasi nilai-nilai kebebasan Eropa–tetapi juga mengimplementasikannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kini pada tahun kesembilan haul sang humanis, bangsa ini pantas mengenang kembali sosoknya sebagai “rumah yang teduh” bagi kaum minoritas dan mereka yang tertindas. Andai kini ia masih hidup, tentu ia sedih melihat intoleransi dan ketidakadilan terhadap ke lompok minoritas masih terjadi di banyak tempat.

Dan, se perti biasa, ia akan berteriak bahwa ia berdiri di depan memasang badannya untuk membela mereka yang pantas dibelanya. Menurut putri bung su nya, Inayah Wulandari, ketika Gus Dur membela ke lompok minoritas, yang ia bela bukan China, Ahmadiyah, atau Nasraninya, melainkan manusia nya. Gus Dur yang mencintai manusia, lanjut Inayah, lebih senang di panggil sebagai seorang humanis.

Humanisme Eropa

Soal martabat dan kebebasan manusia ini menjadi prioritas pertama dalam konstitusi Jerman (Grundgesetz). Artikel pertama (1) dari konstitusi itu menyatakan bahwa “Martabat manusia tidak tersentuh [alias segala-galanya]” (Die Würde des Menschen ist unantastbar). Artikel (pasal) ini menjamin penuh bahwa martabat manusia tidak boleh diganggu dan di ren – dahkan dengan alasan apa pun. Hak asasi manusia yang melekat bersamaan dengan martabatnya mensyaratkan tiadanya diskriminasi, penghinaan, penindasan, atau pengusiran. Anak kandung dari pasal pertama ini adalah “kebebasan individu” (Freie Entfaltung der Personlichkeit ) dan “kebebasan bertindak” (Handlungsfreiheit ).

Dalam konteks ini warga Jerman memiliki kebebasan p enuh untuk menentukan dirinya sendiri, bahkan sejak kecil mereka memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang (Entfal – tung) sesuai yang diinginkannya tanpa diintervensi atau dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang bertentangan dengan martabat dan kebebasannya. Lanjutan dari arti kel/ pasal pertama di atas ditegaskan, “Sie zu achten und zu schüt – zen ist Verpflichtung aller staat – lichen Gewalt” (Mengawasi dan melindunginya adalah tugas atau tanggung jawab semua aparat negara). Hal itu berarti negara, melalui semua instrumennya, hadir dan proaktif melindungi martabat dan kebebasan setiap warganya.

Konsekuensinya adalah, pertama, hukum dibuat dan di laksanakan tidak untuk mempermalukan atau merendahkan martabat warganya di depan publik. Hal ini berbeda paradigma misalnya dengan praktik hukum Islam di beberapa negeri yang menghukum seseorang di depan publik (dicambuk atau dirajam) dengan tujuan jera dan agar tidak diikuti oleh warga lain. Kedua, tidak mencabut kewarganegaraan seseorang dengan alasan apa pun. Deportasi imigran ilegal di Jerman sangat sulit dilakukan karena alasan menjaga martabat kemanusiaan itu. Pemerintah Jerman mengeluarkan biaya yang sangat besar dan “proses yang sangat menyakitkan” untuk sampai kepada penghormatan pasal pertama dalam konstitusi mereka.

Semua organ negara dikerahkan untuk mengenang kekejaman Nazi– pada semua level masyarakat– agar tidak terulang kembali. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, adalah musuh bersama masyarakat Jerman. Usaha mereka cukup berhasil. Kini Jer man adalah salah satu negara yang memiliki anak-anak dan remaja yang relatif “bersih” atau “perawan” (virgin) dari memori kekerasan. Die Würde (martabat) inilah kiranya yang menjadi alasan pokok Kanselir Merkel menerima hampir satu juta imigran muslim masuk ke Jerman. Soal imigran ini adalah ujian bagi pemerintah dan masyarakat Jerman yang percaya dengan “martabat manusia”.

Memang terjadi perdebatan pro-kontra yang keras dengan alasan yang sama-sama emosional. Tetapi, dengan “emosi kemanusiaan” yang dipilih, pemerintahan Mer kel tidak surut memper hati k an nasib imigran. Dalam rentang tiga tahun (2016 hingga 2018) Peme rintah Jerman telah menge luarkan 20 miliar Euro untuk berbagai program membantu imigran. Bahkan ada kejadian yang cukup emosional, banyak pilot di Jerman pada 2017 yang tidak mau menerbangkan pesawat para imigran Afghanistan yang akan dideportasi dari Jerman, jumlahnya tidak main-main: 222 penerbangan! Karena di Jerman ada aturan melarang deportasi ke kawasan yang “membahayakan jiwa”.

Apa dasar bagi per lin dung an atas jiwa yang ber – bahaya? Tak lain adalah ke ma – nusiaan.

Humanisme Islam

Dalam Islam peng hormatan tinggi atas manu sia bukan sesuatu yang baru. Mendiang Nurcholish Madjid, sahabat ka rib Gus Dur, dalam beberapa kesempatan menunjukkan satu referensi (1999) yang menyebut bahwa Giovanni Pico della Mirandola, seorang pemikir Ero pa masa renaisans, mene – mu kan satu naskah berbahasa Arab yang mendiskusikan Ab – dul lah, seorang muslim di masa perang Salib, ketika ditanya hal apa yang paling berharga dan mengagumkan di atas pang – gung dunia ini? Jawabnya, “tak ada satu pun kecuali manusia”.

Fakta ini bahkan sesuai dengan pidato monumental Nabi Muhammad pada momen haji perpisahan (wada’) di abad ketujuh silam yang menegaskan bahwa “darah, jiwa, dan pro – perti umat manusia adalah suci (mulia) bagi mereka”; sebagai hak untuk dimiliki dan dipro teksi. Para pembaca di Barat yang jujur tidak terkejut dengan ba nyak referensi yang meng akui kon – tribusi Islam bagi pen ce rahan Eropa yang kini mewu jud menjadi kiblat peradaban dan pencapaian tertinggi manusia. Islam Spanyol mi sal nya ti dak semata ber jasa menjadi “jem batan” antara Ero pa abad pe r tengah an dengan para fi lusuf le luhur Yunani me reka, tetapi juga memberi fon da si yang kokoh bagi sains dan ke mo dernan.

Pengakuan jujur dua penulis asal Eropa, Tim Wal lace Murphy melalui What Islam Did For Us? Understanding Is lam’s Contributionto Western Civilization (2006) dan Humberto Garcia dengan kar ya nya Islam and the English Enlightenment 1670-1840 (2012) masih me na rik untuk audiens Barat dan muslim yang pena saran dengan pen cerahan dan hu – manisme Barat saat ini. Tesis utama Gar cia adalah bah wa renaisans Ero pa Barat, ter – utama Inggris di masa-masa abad 17 hingga 19, yang kelak me la hir – kan per adab an Eropa yang “mewah” saat ini bukan kre asi mereka sendirian; bukan mukjizat yang tiba-tiba runtuh dari langit.

Garcia melacak para penulis beken Inggris yang mendorong pencerahan dan revolusi politik dan intelektual seperti Samuel Taylor Coleridge penulis Maho met (1799), Henry Stubbe pe nulis The Rise and Progress of Ma ho metanism (1671), Edmund Burke, Mary Mon tagu, Robert Southey, dan Percy dan Mary Shelley yang se – muanya menulis tentang Nabi Mu hammad (Ma homet). Hasil nya adalah apa yang disebut “Afro- Eurasia” dan “Re publikanisme Islam” yang me ru juk kepada pikiran dan gerakan keagamaan Nabi Muham mad di Mekkah dan Madinah.

Para penulis Eropa di atas menemukan dua hal pokok: (1) Islam Muhammad tidak meng a brogasi tradisi Yahudi dan Kris ten, tetapi mengembalikan ke duanya, teruta ma Kristen dari jalan menyimpang pa ga nis me Trinitarian Romawi, kem bali ke monoteisme pri mi tif, yakni mo no teisme ega liter. Percaya ke pa da Tuhan Yang Esa pasti me mun culkan sikap so – sio-politik yang egaliter dan hu – ma nis, (2) Islam yang diprak tik – kan Muhammad telah menjadi con toh dan jalan mulus bagi tegak nya toleransi, pluralisme, dan hak-hak sipil yang se sung guhnya. Oleh me re ka, Mu ham mad di se – but sebagai reformer radikal yang sangat layak di ru juk dalam pe rumusan model pencerahan dan hu – ma nis me di Inggris abad 17-18.

Sebagai cendekiawan mus – lim yang produktif, Gus Dur semasa hidupnya tentu mem – baca dan merenungi bagaimana humanisme Islam klasik telah menyuntik kemanusiaan yang segar bagi Eropa yang gelap, dan di masa modern malah Eropa yang mengajari Islam peng hor – matan tinggi atas martabat manusia. Tetapi, cita rasa dan praktik humanisme Gus Dur sesungguhnya sederhana saja. Dalam Tabayun Gus Dur (1998), Gus Dur menyebut na ma Ibu Rubiíah, seorang ang go ta Gerwani, yang memak sa nya–di se – kolah menengah per ta ma–un tuk membaca novel-novel berat berba hasa Inggris dan Pran cis yang kelak me num buhkan cita rasa huma nis me nya.

Tetapi, yang memberinya kesan mendalam adalah dunia pesantren dengan tradisi kiai yang humanis yang memuliakan manusia tanpa perhitung an. Itu artinya–alih-alih men cipta kan permusuhan dan ke bencian, lembaga pendidikan dan dak wah agama mestinya menyemai spirit persaudaraan dan ka sih sayang. Mengenang Gus Dur adalah tanggung jawab dan ke beranian untuk mem perlakukan orang lain seba gai mana kita ingin di perlakukan, seperti kata Hu kum Emas: “ Do unto others as you would have them do unto you “.

Media Zainul Bahri
Ketua Prodi Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Periset Posdoktoral di Universitas Koln, Jerman (2012-2014 dan 2018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *